Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Tuhan dalam Kupasan Bawang

Kompas.com - 15/01/2012, 02:38 WIB

APRILLIA RAMADHINA

• Judul: Madre • Penulis: Dee/Dewi Lestari • Penerbit: Bentang Pustaka • Cetakan: 2011 • Tebal: xiv + 162 halaman • ISBN: 978-602-8811-49-1

Pesona yang terasa magis hadir dari hal-hal yang biasa, yang terasa ajaib dalam keseharian. Begitu ringan dengan kisah yang mengalir, tetapi tetap menyentuh. Renyah, tetapi tidak sepele.

Dee, begitu biasa disapa, sukses mengemas sebuah cerita hingga tidak menjadi ’sekadar cerita’, tetapi cerita yang berbobot, tanpa menggurui. Madre adalah sebuah kompilasi kisah sederhana dari kehidupan yang biasa dijalani dan dilewatkan begitu saja. Di tangan Dee, kisah-kisah seperti itu diolah menjadi sebuah adonan yang kaya rasa, dari bahan-bahan yang tentu saja tidak setengah jadi.

Seperti madre yang difantasikannya, buku ini pun memiliki cita rasa yang begitu khas. Khas Dewi Lestari. Sekata dengan apa yang ditulis oleh Sitok Srengenge, sang editor, ”Melalui Madre ini—secara sadar, mungkin tidak sadar—Dee telah mengungkap rahasia dapur kreativitas: sebagaimana produsen roti punya adonan biang, Dee pun punya madre, formula khusus yang membuat karya-karyanya terasa istimewa” (hlm xi).

Ungkapan itu tampaknya tidak berlebihan. Ketika membacanya, kita akan dibawa ke dunia yang begitu khas Dewi Lestari, dengan tawaran peristiwa biasa yang diramu perenungan yang mendalam dan dilarutkan dalam kepekaan merasa. Balutan intuisinya yang kuat dan percampuran intelektual di dalamnya membuat buku ini jauh dari kata ’kacangan’.

Biasanya agak sulit bagi penulis untuk mampu mempertahankan kurva kualitas jika sudah menelurkan beberapa buku. Tak jarang, karya pertama seolah menjadi anak sulung yang dikaruniai beragam kekayaan isi dan mutu. Sementara karya selanjutnya hanya kandas mendapati sisa-sisa kecerdasan dan energi yang telah terhabiskan pada yang pertama. Seperti kembang api yang hanya meriah di awal dan meredup kemudian.

Dapat dimaklumi, untuk mendapatkan hasil awal yang mengangkat ’nama’ sang penulis dibutuhkan suatu gebrakan yang luar biasa sebagai ’pendahuluan’. Ini sebagai penentu apakah eksistensinya di kemudian hari mampu diperhitungkan atau tidak. Tampaknya ini tidak berlaku bagi Dewi Lestari. Grafik karyanya sejak rangkaian Supernova, Filosofi Kopi, Rectoverso, Perahu Kertas, dan kemudian Madre tidak memperlihatkan penurunan drastis atau anjloknya kualitas yang mengecewakan pembaca setianya.

Sekeranjang tanya

Kumpulan cerita ini merupakan himpunan dari apa-apa yang mengganggu sang pengarang, kegelisahan yang diakibatkan dari gumpalan-gumpalan tanya seputar kehidupan. Seperti yang ditulis Dee dalam pengantarnya, kumpulan cerita ini disarikan dari berbagai perjalanan dan diibaratkan sebagai sebuah notulen. Tempat ia menuliskan penjelajahan-penjelajahan yang dilalui dalam benaknya, yang merupakan hasil fusi dari sejumlah pertanyaan dan lamunan yang berkisar dari hal-hal kecil di sekeliling. Semisal layang-layang, mercu suar, acar bawang, dan lainnya, yang akan ditemui ketika terjun bertualang dalam kisah-kisah Dee (hlm xiii).

Seperti juga dalam Madre, cerita tentang bagaimana menghidupkan kembali toko roti yang sudah tua dan melibatkan seorang pria bernama Tansen, yang ingin selalu hidup bebas. Awalnya ia tidak ingin menjadi pengusaha roti, tetapi hidupnya yang seolah tanpa pijakan itu disindir oleh Mei, perempuan keturunan Tionghoa yang ingin membeli madre, biang roti yang diwarisi oleh kakek Tansen, ”Kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya sudah bukan bebas lagi, ya?” (hlm 49). Kalimat macam itu jika diresapi sungguh mempunyai makna yang begitu memojokkan bagi mereka yang mengharuskan diri untuk selalu bebas.

Hidup, di mata Dee, tak ubahnya sebuah siklus, yang mirip dengan rumusan pertanyaan dan jawaban. Jawaban yang berupa kesementaraan itu dapat lahir dari tanya dan dapat pula menghadirkan tanya baru lagi. Seperti itu pulalah hidup. ”Semacam siklus reinkarnasi. Ia menjelaskan bagaimana hidup dan mati hadir bahu-membahu seperti halnya gelap dan terang. Hidup dan mati berkedip bergantian agar sekeping jiwa dapat merasa dirinya terbelah dua demi mengalami sensasi bersatu kembali” (hlm 87-88).

Lebih dari itu, Dee mencoba membagi perasaan-perasaan menggelitik tentang cinta dan Tuhan yang coba dituangkan dalam Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan. Dikisahkan tokoh Aku, yang geram dengan pertanyaan wartawan kepadanya tentang apa itu Tuhan, apa itu cinta, lalu mengajak sang penanya untuk sama-sama mengupas bawang dengan kuku hingga serpih terakhir. ”Itulah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa. Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban” (hlm 103).

Akan tetapi, Dee dengan bijaknya tidak mewartakan jawaban-jawaban dari ramuan kisah yang ia bibitkan dari pertanyaan-pertanyaan. Ia hanya menyuguhkan kilasan-kilasan dari tangkapan lamunannya. Jabaran singkat dari olahan pikirannya. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, yang justru bisa saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Sebab, perumusan jawaban hanya akan membawa pada persemayaman kesementaraan. ”Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Namun, pertanyaanlah yang membuat kita terus maju” (hlm xiii-xiv).

Tiga belas kisah menarik dalam Madre menunjukkan kepiawaian Dee sebagai penulis perempuan berbakat yang dimiliki Indonesia. Dee, yang telah memperoleh berbagai penghargaan sastra, rupanya memiliki keinginan yang begitu mulia tetapi sederhana. Baginya, hadiah terbesar sebagai penulis adalah ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah hidup pembacanya. Memang bukan perkara gampang, tetapi melihat karya-karya Dee, tampaknya hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Aprillia Ramadhina Mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Indonesia 

***

• Judul: Indonesia Mengajar: Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri • Penulis: Pengajar Muda • Penerbit: Bentang Budaya • Cetakan: I, 2011 • Tebal: xviii + 322 halaman • ISBN: 978-602-881-57-6

Rizki, 9 tahun, kelas III SD, sudah 4 bulan berhenti sekolah. Ia tak bisa didekati dan tak tersentuh, tetapi ia selalu mengintai dari persembunyiannya. Erwin dibuat takjub ketika suatu hari Rizki melemparkan gulungan kertas. Isinya adalah jawaban soal Matematika yang ia ajarkan untuk murid kelas IV dan VI. Isinya hampir 80 persen benar. Tak ada yang lebih membahagiakan Erwin ketika Rizki memeluknya dan menyatakan ingin sekolah. Akhirnya Rizki sekolah, tetapi tetap tak bisa didekati, selalu menjauh. Hanya lemparan gulungan kertas kerap diterima Erwin ketika Rizki ingin bertanya.

Cerita Erwin tentang Rizki adalah salah satu dari 51 kisah Pengajar Muda. Mereka adalah anak muda kota besar yang rela meninggalkan zona nyaman dan masa depan cerah untuk menjadi guru SD di berbagai pelosok negeri. Para pemuda ini terpilih dari 1.338 calon dan bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Dr Anies Baswedan.

Satu tahun mereka harus berjibaku mengajar dengan segala keterbatasan. Pantang menyerah, tekad mereka adalah menebarkan mimpi dan memberikan inspirasi bagi anak negeri. Ada duka dan air mata, tetapi lebih banyak tawa dan cinta yang mereka dapatkan. Lewat esai-esai dalam buku ini, para Pengajar Muda berbagi pengalaman. (RPS/Litbang Kompas)  

 ***

• Judul: Dead Ringers: How Outsourcing is Changing the Way Indians Understand Themselves • Penulis: Shehzad Nadeem • Penerbit: Princeton University Press • Tebal: xii + 273 halaman • ISBN: 978-0-691-14787-1

Penerapan outsourcing atau tenaga alih daya, dimotivasi oleh penghematan biaya, ternyata menghadirkan masyarakat pekerja yang stres akibat lelah secara fisik dan psikologis serta hanya memiliki waktu yang sedikit untuk kehidupan sosial. Setidaknya demikian yang terjadi pada pekerja alih daya di India.

Pandangan yang melihat tenaga alih daya India lebih produktif dan lebih murah menjadi alasan berbagai perusahaan memilih mempekerjakan tenaga kerja India. Bagian dari daya tarik lain tenaga kerja India adalah kesediaannya untuk bekerja keras. Namun, dampaknya tenaga alih daya India menjadi semakin terasing dari dunianya. Contohnya dalam sebuah call center, pencapaian ditentukan oleh kecepatan kerja dan efisiensi teknologi. Setiap panggilan telepon harus ditangani 5 sampai 10 detik. Ratusan telepon harus mereka hadapi setiap hari dalam waktu cepat, bahkan tidak diperbolehkan ada celah antarpanggilan. Selain jenuh, mereka pun kelelahan luar biasa karena jarang diperbolehkan istirahat jika panggilan telepon sangat banyak. Penambahan waktu kerja sering kali tidak diikuti dengan penambahan insentif.

Tenaga alih daya India pun mengalami kesulitan ketika kondisi tubuh mereka melemah atau sakit. Jika seorang pekerja sakit, insentif akan berkurang karena hari ketika mereka tidak masuk kerja meski karena sakit ditafsirkan sebagai hari tidak produktif. Pengawasan konstan yang berlebihan juga menciptakan suasana yang bermusuhan dengan pihak manajemen perusahaan. Kesalahan menjadi hal yang dicari-cari. Seorang pekerja yang minta izin pergi ke toilet dan kembali lebih dari waktu yang diberikan segera akan dikenai sanksi. Suasana demikian semakin merusak kinerja serta kenyamanan fisik dan psikologis tenaga alih daya. (SHS/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com